1. AQIDAH
I. DEFINISI AQIDAH
Aqidah menurut etimologi berasal dari kata
al-aqdu yang bermakna ikatan atau janji atau simpul yang kuat. Sedangkan menurut terminology mempunyai dua
sudut tinjau yaitu :
secara umum : Adalah sebuah
ketetapan akal yang
bersifat pasti, baik Hukum
tersebut bersifat benar
ataupun batil. Kalau
ketetapan akal sesuai dengan kenyataan
dan sesuai dengan wahyu
Allah maka dia dinamakan aqidah yang
benar ( Aqidah Ash-shahihah ) dan
akan melahirkan keselamatan dari
siksa Allah, dan kebahagiaan dunia akhirat, seperti keyakinan
kaum muslimin akan keEsa`an
Allah. Dan jika ketetapan
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
dan bertentangan dengan Wahyu Allah maka dinamakan aqidah yang batil dan akan
melahirkan siksa bagim pemeluknya di dunia dan akhirat, seperti keyakinan orang
Nasrani yang menyatakan Allah itu salah satu dari tiga sembahan ( trinitas ).
Secara khusus : Aqidah
bermakna aqidah Islam,
yaitu keimanan yang pasti kepada Allah, para Malaikat , kitab-kitab-Nya,
Rosul-rosul-Nya, kepada Hari kiamat, serta
takdir yang baik dan yang buruk.
Serta beriman pada semua yang datang dar
i Alqur`an dan Assunah
yang shahih berupa
pokok-pokok agama ,
perintah dan larangan-Nya.
Serta beriman dengan
semua yang disepakati oleh para
pendahulu yang shaleh
dan berserah diri kepada Allah , dan ta`at pada Rasullulah SAW. Dengan
kata lain makna
Aqidah secara khusus adalah
sesuatu yang mengharuskan
hati membenarkannya, yang
membuat jiwa tenang
dan menjadi kepercayaan yang
bersih dari kebimbangan dan
keragu-raguan. Aqidah didalam
Alqur`an disebut dengan iman yang artinya, membenarkan dalam hati, mengucapkan
dengan lisan dan melaksanakan dengan amal perbuatan. Allah berfirman dalm surat
dalam surat Annisa ayat 136 artinya: “ Hai orang-orang yang beriman Tetaplah
beriman kepada Allah
dan Rasulnya, dan kepada kitab-kitab
yang Allah Turunkan kepada Rasulnya, serta kitab yang Allah turunkan
sebelum-sebelumnya. Barang Siapa yang kafir kepada Allah, malaikatNya,
kitabNya,Rasul rasulnya Hari Kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat
sejauh-jauhnya”
II. SUMBER AQIDAH ISLAM
Aqidah
adalah sesuatu yang
harus berdasarkan wahyu,
oleh sebab itu sumber
aqidah Islam adalah
Alqur`an dan Sunnah Nabi saw yang shahih sesuai
dengan apa yang
difahami oleh para
sahabat Nabi saw , karena mereka telah diridai oleh Allah Ta`ala.
III. KEDUDUKAN AQIDAH DALAM ISLAM
Dalam ajaran Islam, aqidah
memiliki kedudukan yang sangat penting. Ibarat suatu bangunan, aqidah adalah
pondasinya, sedangkan ajaran Islam yang lain, seperti ibadah dan akhlaq, adalah
sesuatu yang dibangun di atasnya. Rumah yang dibangun tanpa pondasi adalah
suatu bangunan yang sangat rapuh. Tidak usah ada gempa bumi atau badai, bahkan
untuk sekedar menahan atau menanggung beban atap saja, bangunan tersebut akan
runtuh dan hancur berantakan.
Maka, aqidah yang benar merupakan landasan (asas) bagi
tegak agama (din) dan diterimanya suatu amal. Allah subahanahu wata`ala
berfirman,
Artinya: “Maka barangsiapa
mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya (di akhirat), maka hendaklah ia beramal
shalih dan tidak menyekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (Q.S.
al-Kahfi: 110)
Allah subahanahu wata`ala juga berfirman,
Artinya: “Dan sungguh telah
diwahyukan kepadamu dan kepada nabi-nabi sebelummu, bahwa jika engkau
betul-betul melakukan kesyirikan, maka sungguh amalmu akan hancur, dan kamu
benar-benar akan termasuk orang-orang yang merugi.” (Q.S. az-Zumar: 65)
Mengingat pentingnya kedudukan aqidah di
atas, maka para Nabi dan Rasul mendahulukan dakwah dan pengajaran Islam dari
aspek aqidah, sebelum aspek yang lainnya. Rasulullah salallahu `alaihi wasalam
berdakwah dan mengajarkan Islam pertama kali di kota Makkah dengan menanamkan
nilai-nilai aqidah atau keimanan, dalam rentang waktu yang cukup panjang, yaitu
selama kurang lebih tiga belas tahun. Dalam rentang waktu tersebut, kaum
muslimin yang merupakan minoritas di Makkah mendapatkan ujian keimanan yang
sangat berat. Ujian berat itu kemudian terbukti menjadikan keimanan mereka
sangat kuat, sehingga menjadi basis atau landasan yang kokoh bagi perjalanan
perjuangan Islam selanjutnya. Sedangkan pengajaran dan penegakan hukum-hukum
syariat dilakukan di Madinah, dalam rentang waktu yang lebih singkat, yaitu
kurang lebih selama sepuluh tahun. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita mengenai
betapa penting dan teramat pokoknya aqidah atau keimanan dalam ajaran Islam.
2.SYARIAH
I. DEFENISI SYARIAH
Secara etimologi syariah
berarti aturan atau ketetapan yang Allah perintahkan kepada hamba-hamba-Nya,
seperti: puasa, shalat, haji, zakat dan seluruh kebajikan. Kata syariat berasal
dari kata syar’a al-syai’u yang berarti menerangkan atau menjelaskan sesuatu.
Atau berasal dari kata syir’ah dan syariah yang berarti suatu tempat yang
dijadikan sarana untuk mengambil air secara langsung sehingga orang yang
mengambilnya tidak memerlukan bantuan alat lain. Syariat dalam istilah syar’i
hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya, baik hukum-hukum
dalam Al-Qur’an dan sunnah nabi Saw dari perkataan, perbuatan dan
penetapan. Syariat Islam dalam istilah adalah apa-apa yang disyariatkan
Allah kepada hamba-hamba-Nya dari keyakinan (aqidah), ibadah, akhlak, muamalah,
sistem kehidupan dengan dimensi yang berbeda-beda untuk meraih keselamatan di
dunia dan akhirat
Hukum-hukum syariah dalam Islam
terbagi atas : wajib, sunnah, mubah
makruh dan haram ,yang memiliki makna sbb.
:
1. Wajib, yaitu
suatu perbuatan yang jika
dikerjakan mendapat pahala ,dan Jika ditinggalkan akan mendapat dosa atau
siksaan.
2. Sunnah,
yaitu suatu perbuatan
yang jika dikerjakan
akan mendapatkan Pahala dan jika ditinggalkan tidak ada sangsi atau
hukuman,tetapi dianjurkan Untuk dikerjakan.
3. Mubah,
yaitu suatu perbuatan
yang jika di kerjakan boleh dan ditinggalkan Juga boleh, artinya dikerjakan atau tidak dikerjakan tidak
apa-apa.
4. Makruh, yaitu suatu perbuatan yang
jika ditinggalka mendapat
pahala dan Jika dikerjakan tidak mendapat pahala tetapi tidak berdosa.
5. Haram, yaitu suatu perbuatan yang jika
dikerjakan akan mendapat dosa dan jika ditinggalkan akan mendapatkan
pahala.
II.PERBEDAAN SYARIAH DAN FIQIH
Perbedaan
Antara Fiqih dan Syariah, dapat dijelaskan dari sepenggal tulisan berikut ini
yang dikutipkan dari tulisan Fikria Najitama "Sejarah Pergumulan Hukum
Islam" dalam Al Mawarid Edisi XVII Tahun 2007 hal.104.
Istilah
syari’ah seringkali dipahami sama dengan fiqh oleh sebagian orang. Hal ini
tentunya menimbulkan problem tersendiri karena kedua istilah tersebut
memiliki perbedaan yang signifikan, walaupun tidak dapat dinafikan bahwa
keduanya juga memilaki hubungan yang erat. Syari’ah merupakan jalan yang
ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
merealisir kehendak-Nya atau dengan kata lain syariah merupakan kehendak
ilahi, suatu ketentuan suci yang bertujuan mengatur kehidupan masyarakat
muslim. Sedangkan fiqh merupakan ilmu tentang hukum-hukum syar’iyyah
amaliah dari dalil-dalil yang terinci (adillah tafshiliyyah). Dengan
demikian syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan yang sangat jelas. Perbedaan
keduanya disimpulkan oleh pernyataan A. A Fyzee,
Bahwa
syari’ah mencangkup hukum-hukum dan prinsip-prinsip ajaran Islam, sementara
fiqhhanya berkaitan dengan aturan-aturan hukum saja.
Abu Ameenah menambahkan tiga perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu:
Abu Ameenah menambahkan tiga perbedaan lain antara syari’ah dan fiqh, yaitu:
1. Pertama,
Syari’ah merupakan hukum yang diwahyukan Allah yang terdapat dalam
al-Qur’an dan sunnah, sementara fiqh adalah hukum yang disimpulkan dari
syari’ah yang merespon situasi-situasi tertentu yang tidak secara langsung
dibahas dalam hukum syari’ah.
2. Kedua,
syari’ah adalah pasti dan tidak berubah, sementara fiqh berubah sesuai
dengan situasi dan kondisi dimana diterapkan.
3. Ketiga,
hukum syari’ah sebagian besar bersifat umum;meletakkan prinsip-prinsip dasar,
sebaliknya hukum fiqh cenderung spesifik; menunjukkan bagaimana
prinsip-prinsip dasar syari’ah bisa diaplikasikan sesuai dengan
keadaan.
Akan tetapi, walaupun sesungguhnya
makna syari’ah dan fiqh memiliki perbedaan, namun kemudian diterjemahkan
secara longgar sebagai ‘hukum Islam’.
3. AKHLAK
I. DEFINISI AKHLAK
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang
yang didorong oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu
perbuatan yang baik. Akhlak merupakan bentuk
jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa Arab yang
berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tiga pakar di bidang
akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad Amin menyatakan
bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri seseorang yang dapat
memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Kata akhlak diartikan
sebagai suatu tingkah laku, tetapi tingkah laku tersebut
harus dilakukan secara berulang-ulang tidak cukup hanya sekali melakukan
perbuatan baik, atau hanya sewaktu-waktu saja. Seseorang dapat dikatakan berakhlak
jika timbul dengan sendirinya didorong oleh motivasi dari
dalam diri dan dilakukan tanpa banyak pertimbangan pemikiran apalagi
pertimbangan yang sering diulang-ulang, sehingga terkesan sebagai keterpaksaan
untuk berbuat. Apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan terpaksa bukanlah
pencerminan dari akhlak.
Dalam Encyclopedia
Brittanica, akhlak disebut sebagai ilmu akhlak
yang mempunyai arti sebagai studi yang sistematik tentang tabiat dari
pengertian nilai baik, buruk, seharusnya benar,
salah dan sebaginya tentang prinsip umum
dan dapat diterapkan terhadap sesuatu, selanjutnya dapat disebut juga
sebagai filsafat moral.
II. KEDUDUKAN AKHLAK
1. Sebagai sebab diturunkannya
risalah. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya saya diutus adalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”
2. Sebagai definisi dari agama.
Rasulullah ditanya, apakah agama itu? Rasul menjawab: ‘Agama adalah akhlak yang
baik’ (HR. Ahmad).
3. Mengantarkan pada iman yang
sempurna. Rasulullah bersabda: “Seorang Mukmin yang paling sempurna imannya
adalah yang paling sempurna akhlaknya.”
4. Penyebab masuk surga.
Rasulullah ditanya; apa yang paling banyak mengantarkan manusia ke surga? Rasulullah
menjawab: ‘Akhlak yang baik.’ Rasulullah ditanya, apa yang paling banyak
mengantarkan manusia ke neraka? Rasulullah menjawab: ‘Mulut dan kemaluan.’ (HR
Tirmidzi)
5. Allah mensifati Rasulullah
dengan “Husnul Khuluk” (an-Nisaa’: 67). Ketika ‘Aisyah ditanya tentang akhlak
Rasulullah, beliau menjawab: akhlaknya adalah al-Qur’an.
6. Rasulullah berdoa kepada
Allah agar dibaguskan akhlaknya. “Ya Allah tunjukkanlah saya kepada akhlak yang
baik sesungguhnya tiada yang memberi petunjuk kepada akhlak yang baik kecuali
Engkau, palingkanlah kami dari akhlak yang buruk, sesungguhnya tiada yang
memalingkan kecuali Engkau.”
7. Yang paling dicintai oleh
Rasulullah. “Sesungguhnya yang paling aku cintai dan yang paling dekat denganku
di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.”
III. KARAKTERISTIK AKHLAK DALAM ISLAM
1. Menyeluruh, meliputi seluruh perilaku manusia, baik hubungannya
terhadap diri sendiri maupun dengan orang lain, baik personal, dengan kelompok,
negara dll.
2. Komitmen, baik dalam sarana maupun tujuan.” (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu
dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali
terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah
Mahamelihat apa yang kamu kerjakan. “(al-Anfaal: 72)
3. Mendapat balasan yang baik bagi yang melakukannya. Demikianlah diberikan
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.” Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS.65: 2).
4. Sesuai dengan fitrah yang benar. “Kebaikan itu adalah
akhlak yang baik dan dosa itu adalah yang tidak nyaman dalam dirimu dan engkau
tidak suka dilihat orang lain.” (HR. Muslim)
5. Selalu dikaitkan dengan nilai-nilai iman. “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga
(di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. 3: 200)
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: 5: 8). Rasulullah bersabda: “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Shahabat bertanya: “Siapa ya Rasulallah?” Rasulallah menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
“ Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) Karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: 5: 8). Rasulullah bersabda: “Demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman.” Shahabat bertanya: “Siapa ya Rasulallah?” Rasulallah menjawab: “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari)
Seperti apa yang dikatakan Al Habib Saggaf
bin Muhammad Al Jufri dalam syairnya yang artinya : “ Sesungguhnya suatu bangsa akan jaya keberadaannya selama mereka masih
berpegang teguh dengan nilai-nilai akhlak dan budi luhur. Jika nilai-nilai
akhlak mulia telah ditinggalkan oleh suatu bangsa, maka akan pudar dan sirna
bangsa tersebut”
4.HUBUNGAN AQIDAH,SYARI’AH DAN AKHLAK
Aqidah,
syariah dan akhlak pada dasarnya merupakan satu kesatuan dalam ajaran
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
islam. Ketiga unsur tersebut dapat dibedakan tetapi tidak bisa dipisahkan.
Aqidah sebagai system kepercayaan yg bermuatan elemen-elemen dasar keyakinan,
menggambarkan sumber dan hakikat keberadaan agama. Sementara syariah sebagai
system nilai berisi peraturan yang menggambarkan fungsi agama. Sedangkan akhlak
sebagai sistematika menggambarkan arah dan tujuan yg hendak dicapai agama.
Muslim
yg baik adalah orang yg memiliki aqidah yg lurus dan kuat yg
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.
mendorongnya untuk melaksanakan syariah yg hanya ditujukan pada Allah sehingga
tergambar akhlak yg terpuji pada dirinya.
Aqidah, Syariah dan Akhlak, ketiganya merupakan 3 pokok
ajaran Islam. Ketiganya harus selalu bersamaan dengan aqidah berjalan di depan.
Adapun filosofi lain, aqidah, syariah, dan akhlak bagaikan suatu pohon, di mana
aqidah merupakan akar, syariah merupakan batang dan akhlak adalah dedaunan.
Syariah dan akhlak akan tumbang tanpa adanya aqidah yang mengakarinya.
5. AKTUALISASI ISLAM DAN ISU ISU KONTEMPORER
I. AKTUALISASI DALAM ISLAM
Aktualisasi ajaran Islam dalam kehidupan
sehari-hari, memang menunjukkan wajah yang beragam antara satu muslim dengan
muslim yang lain. Sebagian muslim ada yang menampilkan Islam dalam bentuknya
yang klasik, tradisional dan kumuh, tetapi di sisi lain ada pula sebagian
muslim yang menampilkan ajaran Islam dengan wajah yang modern dan dinamis.
Wajah Islam yang beragam tersebut tidak lepas dari ajaran Islam sendiri yang
bersifat universal sehingga memungkinkan setiap orang untuk memahaminya, sesuai
dengan konteks mereka masing-masing.
Salah
satu penyebab terjadinya perbedaan muslim dalam mengaktualisasikan ajaran Islam
tersebut adalah karena adanya perbedaan sudut pandang dalam memahami
sumber-sumber Islam itu sendiri. Memang tidak ada yang salah dengan apa yang
diaktualisasikan oleh mereka, karena masing-masing mencoba untuk menjalankan
ajaran Islam sesuai dengan situasi dan kondisi mereka.
Corak
keberagamaan di pedesaan tentu berbeda dengan corak keberagamaan di perkotaan.
Tradisi-tradisi Islam klasik, seperti tahlilan, diba’an, yasinan dan sebagainya
lebih banyak mewarnai wajah keberagamaan Islam di pedesaan. Sementara di
perkotaan, aktualisasi Islam lebih bersifat formalitas, hanya sebatas shalat
lima waktu dan mungkin sedikit pengajian rutin di masjid-masjid. Meskipun
tradisi tahlil dan diba’an tetap ada di perkotaan, tetapi bentuk dan muatannya
bisa berbeda dengan tradisi tahlil dan diba’an di desa.
Tetapi
sebenarnya ajaran Islam tidak hanya sebatas pada masalah-masalah yang terkait
dengan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lainnya.
Islam merupakan sistem kehidupan yang sangat kompleks dan menyeluruh. Islam
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, baik dalam urusan agama maupun dunia.
Ketika Islam hanya difahami sebagai ajaran ibadah semata, maka pada gilirannya
akan melahirkan suatu pemikiran yang dikhotomik dalam kehidupan umat Islam dan
aktualisasi ajaran Islam dalam kehidupan umat Islam menjadi sangat sempit,
karena masalah-masalah lain yang berada di luar ibadah dianggap bukan urusan
agama.
Faham
yang membedakan antara urusan agama dan dunia ini, kemudian disebut dengan
faham sekular yang datang dari dunia Barat. Islam tidak mengenal sekularisasi
apalagi sekularisme. Dalam Islam segala urusan, baik yang berkaitan dengan
agama maupun dunia, sama-sama diatur oleh agama. Ketika seseorang menjadi
politikus, bukan berarti dia bisa melakukan segala sesuatu yang lepas dari
nilai-nilai Islam. Karena segala pikiran, prilaku dan gerak-geriknya harus
diwarnai oleh ajaran Islam. Jika seorang muslim berpolitik, kemudian menganggap
bahwa dunia politik tidak ada hubungannya dengan Islam, berarti dia telah
memiliki faham sekular dan jumlah orang-orang yang berfaham seperti ini mungkin
cukup banyak di negeri kita, sehingga sepak terjang para politikus kita, banyak
yang jauh dari nilai-nilai ajaran Islam.
Mengaktualisasikan
ajaran Islam dalam kehidupan Islam secara kaffah, memang bukan pekerjaan yang
mudah, tetapi diperlukan sebuah gerakan yang tidak setengah-setengah. Jika
gerakan itu hanya dilakukan oleh satu atau dua orang saja, tentu sangat berat
untuk dilakukan, karena kekuatan kita sangat terbatas. Mungkin kita bisa
memulainya dari diri kita sendiri, keluarga kita, komunitas kita, kemudian
merambah pada tatanan yang lebih luas di dalam masyarakat. Wallahu a’lam.
II. ISU-ISU KONTEMPORER
Secara teologis perempuan dan laki-laki diciptakan
semartabat, sebagai manusia yang se-“citra” dengan allah. Namun, tidak bisa
dipungkiri, dalam realitas-kultural-agama antara
keduanya sering terjadi ketidakadilan yang melahirkan kekerasan terutama kaum
perempuan.di masyarakat, kita kerap menyaksikan kekerasan terhadap perempuan
dengan berbagai manifestasinya. Kekerasan fisik, emosional, psikologi, entah
secara domestik maupun publik.
Paradigma lain nengatakan bahwa islam merupakan sumber
kekerasan terhadap perempuan. Para agamawan telah mengsalah artikan
, doktrin,ajaran, bahkan teks-teks kitab suci yang meninggirkan peran perempuan
dalam agama.[17] Sebagai
contoh adaa sebuah teologi yang menyatakan bahwa perempuan
diletakkan dalam posisi sub-ordinasi terhadap suami. Pandangan teologis ini
melihat pada sebuah kisah tentang hawa(perempuan) yang “dituduh” sebagai “dosa
asal” karena terbujuk iblis dengan memetik dan memakan buah terlarang lantas
memberikannya pada adam, suaminya. Sementara bnyak kalangan yang menganggap
kisah ini sebagai peminggiran islam.[18]
Sampai sekarang banyak penafsiran ayat
al-qur’an yang masih diterjamahkan dan dipahami menurut pola pandang
patriarchal. Artinya, masih menonjolkan kepentingan kepetingan laki-laki.
Akibatnya, kepentingan laki-laki lebih di unggulkan daan ditonjolkan. Ini semua
di akibatkan karena adanya penafsiran agama yang sudah berumur
ribuan tahun ditambah dengan adanya budaya yang patriarkhi, adat
istiadat, dan mitos-mitos tentang laki-laki dan perempuan, berakibat laki-laki
mempunyai perasaan dan kecenderungan misogenis.
Padahal sebenarnya islam adalah agama yang memihak kaum
perempuan. Sebagai contoh ,” poligami” beberapa pendapat mnyatakan
bahwa poligami itu boleh,namun,
sebaiknya mengkaji al-qur’an lbih dalam,lebih seksama dan lebih teliti. Berikut
ini ayat tentang poligami :
“nikahilah
dua atau tiga wanita yang baik menurutmu”
Ayat ini jangan dipotong di situ saja, umumnya
orang memotong sampai penggalan ayat tersebut. Padahal, ada
sambungannya yang sering dilupakan. Lanjutannya berbunyi
:
“ sekiranya kamu khawatir
tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja”
Maksud dari adil disini tidak hanya berupa materil tapi
immaterial termasuk cinta, kasih sayang, perhatian dan lain sebagainya. Jadi,
yang dituntut dalam ayat ini yang sering dijadikan justifikasi teologi poligami
tersebut adalah keadilan immaterial. Sedangkan dalam al-qur’an disebutkan bahwa
“engkau (suami) tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau telah
berusaha keras”. Jaddi keadilan itu tidak akan terwujud melalui poligami.
Banyak juga nabi saw yang tidak membolehkan. Sebagai
contoh, ketika ali meminta izin menikah juwaryyah, rasulullah langsung menolak.
Islam tidak hanya memihak perempuan tapi juga memandang
persamaan laki-laki dan perempuan. Salah satu misi rasulullah , adalah
mengangkat harkat dan martabat perempuan. Sebelum nabi diutus, arab berada
padaa zaman jahiliyyah yang menganggap perempuan dianggap barang yang bisa
dihadiahkan dibagi-bagi,
diwariskan, bahkan mereka tidak menghendaki kehadirannya. Sehingga, tersohorlah
adat pemakaman bayi perempuan hidup-hidup. Tujuan allah mengutus rasulullah
adalah untuk membebaskan kaum perempuan.
Beberapa contoh al-qur’an memihak padaa kaum perempuan
1. Dulu
perempuan tidak boleh menerima warisan,namun sekarang boleh meskipun
perbandingannya satu banding dua denagn laki-laki
2.
Dulu perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam sebuah
perkara, namun sekarang boleh meskipun minimal dua orang saksi perempuan yang
nilainya sama dengan satu orang saksi laki-laki.
Secara normatif, semua agama adalah antikekerasan.
Sinergi antara agama dengan jarinagn perempuaan akan memaksimalakan usaha untuk
penyelenggaran pendidikan pelatihan gender. Penegakan keadilan gender akan
semakin terberdayakan. Pengaembangan jaringan kemitraan dan kerjasama semacam
ini dapat semakin memudahkan kita melawan kekerasan dalam kehidupan.
Kita harus mampu menciptakan ruang yang adil, damai, dan cerah bagi kehidupan,
sehingga kekerasan dapat kita lawan dengan kelembutan hati, kepekaan nurani
perempuan. Alangkah indahnya dunia kita, manakala perempuan yang merupakan
mayoritas makhluk tuhan yang menjadi pelopor antikekerasan ditengah kehidupan
dengan hati, kerahiman,dan kasih sayang.